Rabu, 29 April 2015

Di pusaran waktu

telah dilabuh gelisah pada pusar waktu
hingga larung abu pada sarang angin

gelombang sunyi diri sendiri

tinggal beburung jiwa menemu
karang julang tegak menantang

demikian terjal jejalan hidup di tatap matahari

sekepak sayap menempuh tempuh
terbang mengepak dari matamu

pintu langit membuka
bagi jerit perih kerinduan jiwa

 


Belajar pada kesunyian

aku telah belajar pada kesunyian, diajarkannya aku cinta demikian tulus, rindu yang bercahaya, hingga kutemukan diriku sendiri, sembunyi di lorong panjang waktu dan jarak

sebagai kesendirian

aku telah belajar pada kesunyian, di hiruk pikuk demikian gaduh, sampai aduhku berhenti, terdiam pada titik

mula-mula adalah kesunyian, lalu sabda

Reinkarnasi

berikan aku kepada matahari, katanya, setiap pagi melihat mencorong cahaya hingga
ketakjuban menyelimuti jantung hati.
tapi ia tak tahu bahwa matahari akan membakarnya jadi abu.
menjadi tiada.

sungguhkah aku akan menjadi tiada, katamu tak percaya.
seperti biasa, kaubacakan hukum kekekalan energi dan ayat reinkarnasi.
seperti matahari yang lain.

cahayamu panas sekali.
aku pun lebur dalam matahari! bermilyar trilyun matahari mengada dan meniada.

Malam itu ?

Malam itu 
harum nafasmu
badai mengamuk dalam langitku
yang mengaduk-aduk lautku
jiwamu dan jiwaku bersenggama
jiwaku dan jiwaku menirwana

Malam itu
bulan dan bintang saling kedip
kebingungan atupun cemburu
pada pernikahan kita dulu

Mata dan bibirmu
seperti masih perawan
tersipu rupawan..
badai di langitku belum lagi reda
lautku masih mencemaskan perahu bahtera kita

Sayang..
bolehkah kita terus mengayuh
lebih jauh..
atau kita kembali saja ketepian
membawa cerita manis ini sebagai kenangan
tak seperti biasa ragu-ragu kau bertanya
tak seperti biasa ragu-ragu aku menjawab
kemudian diam bergabung dengan malam
tapi kita belum menyerah
kita belum menyerah, bukan,
sayang ?